Jumat, 18 Mei 2012

KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASKAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Pendahuluan

            Mahkamah Konstitusi RI dengan putusannya Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Pebruari 2012 berkaitan dengan permohonan uji materiil terhadap UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto memutuskan: "Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “

            Putusan tersebut sedikit banyak telah membuat kaget sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk kalangan yang bergerak di dunia hukum, termasuk kalangan notaris. Banyak notaris yang mempertanyakan bagaimana akibat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap kedudukan anak luar kawin dalam masalah pewarisan, bagaimana kedudukan Akta/Surat Keterangan Waris (SKW) yang telah dibuat oleh notaris, apakah SKW tersebut dapat digugat oleh anak luar kawin yang bersangkutan, apa akibatnya terhadap notaris yang membuat SKW tersebut.Hal tersebut sedikit banyak membawa kepanikan tersendiri bagi beberapa kalangan notaris. Hal ini terlihat dari pertanyaan dan komentar-komentar yang diajukan di dalam grup atau milik yang terdapat didunia maya. Untuk menjawab pertanayan-pertanyaan tersebut maka mulai bertebaran seminar-seminar yang telah atau akan diadakan untuk membahas masalah yang masih hangat tersebut.

KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN
1.  Menurut KUHPerdata
            Dalam arti luas anak luar kawin adalah semua anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan antara seorang pria dan seorang wanita di luar perkawinan yang sah (termasuk disini anak zinah dan anak sumbang). Anak luar kawin menurut KUHPerdata terdiri dari :1) anak luar kawin (dalam arti sempit); 2) anak sumbang dan 3) anak zinah.
            Anak luar kawin (dalam arti sempit) ("natuurlijk kind") selanjutnya disebut ALK adalah   anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan antara seorang pria dan seorang wanita di luar perkawinan yang sah, yang tidak sedang terikat perkawinan dengan orang lain atau tidak terkena larangan untuk melangusngkan perkawinan menurut ketentuan hukum yang berlaku. Anak sumbang adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan antara seorang pria dan seorang wanita di luar perkawinan yang sah, dimana diantara mereka satu dengan yang lainnya dilarang untuk melangsungkan perkawinan. Anak Zinah adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan antara seorang pria dan seorang wanita di luar perkawinan yang sah, dimana salah seorang di antara mereka atau kedua-duanya sedang terikat perkawinan dengan orang lain.
            Pada prinsipnya menurut KUHPerdata seorang ALK hanya mempunyai hubungan hubungan biologis dengan orang tuanya tanpa adanya hubungan perdata dengan mereka. Pasal 280 KUHPerdata menentukan hubungan perdata di antara seorang ALK dengan orang tuanya hanya terjadi apabila ayah dan atau ibu  anak tersebut melakukan "pengakuan anak ("erkenning") ". Hubungan perdata timbul antara ALK dengan ayah dan atau ibu yang mengakuinya. Berdasarkan Pasal 282 KUHPerdata, pengakuan ALK harus dilakukan dengan suatu akta otentik.  Disamping dilakukannya pengakuan anak. Kedudukan ALK juga dapat ditingkatkan sehingga kedudukannya sama seperti anak sah. hal ini disebut dengan "pengesahan anak ("wettiging") . Pengesahan anak dapat dilakukan melalui perkawinan kedua orang tua yang telah mengakuinya (Pasal 272 KUHPerdata) atau melalui pengesahan dengan "surat pengesahan ("brieven van wettiging") yang diterbitkan oleh Presiden (Pasal 274 KUHPerdata).
            Dengan adanya hubungan perdata antara ALK dengan orang tua yang mengakuinya maka ALK yang bersangkutan mempunyai hak untuk menjadi ahli waris orang tuanya tersebut, demikian ditentukan dalam Pasal 862 KUHPerdata. Jadi seorang ALK hanya berhak mewaris dari orang tuanya apabila orang tuanya melakukan pengakuan anak secara sah menurut ketentuan hukum yang berlaku.Jika ALK tersebut tidak diakui secara sah oleh orang tuanya maka ia tidak berhak mewaris harta peninggalan orang tuanya, kecuali tidak terdapat lagi ahli waris yang berhak mewaris berdasarkan UU maka ia akan mewaris dengan mengenyampingkan negara (pasal 873 KUHPerdata)..
            Pasal 283 KUHPerdata menetukan bahwa terhadap anak zinah maupun anak sumbang tidak dapat diakui, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 273 KUHPerdata. Dengan adanya ketentuan tersebut maka anak zinah dalam keadaan apapun tidak dapat ditingkatkan statusnya, sedangkan terhadap anak sumbang masih mungkin ditingkatkan status hukumnya apabila kedua orang tuanya memperoleh dispensasi untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 KUHPerdata.
            Sehubungan dengan hal tersebut maka anak zinah maupun anak sumbang (selain yang dimaksud dalam Pasal 273 KUHPerdata)   menurut KUHPerdata tertutup peluangnya untuk menjadi ahli waris dari orang tuanya mereka hanya berhak atas tunjang nafkah sesuai dengan kemampuan orang tuanya (Pasal 867 - 869 KUHPerdata).
            Bebeda dengan apa yang ditetapkan dalam KUHPerdata. di dalam pasal 43 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974  (UU Perkawinan) ditentukan bahwa ALK mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka semenjak berlakunya UU Perkawinan seorang ALK dengan sendirinya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, tanpa perlu adanya pengakuan anak yang dilakukan oleh seorang ibu. Adanya ketentuan tersebut mengakibatkan seorang ALK mempunyai hak mewaris dari ibunya, jika ibunya tersebut meninggal dunia.
            Terhadap kedudukan anak yang diatur dalam UU Perkawinan tersebut ada pula yang berpendapat lain . Pendapat lain  tersebut timbul karena adanya ketentuan Pasal 43 ayat 2 UU Perkawinan yang menentukan   " Kedudukan anak tersebut dalam ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah." dan peraturan pemerintah tersebut sampai sekarang belum ada. Karena peraturan pemerintah yang dimaksud itu sampai sekarang belum ada maka untuk menimbulkan hubungan perdata ALK tersebut dengan ibunya masih tetap diperlukan adanya pengakuan anak.

2.  Menurut Hukum Islam
            Dalam hukum Islam semua anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah disebut sebagai anak zinah. Jadi ada perbedaan pengertian mengenai anak zinah dalam hukum Islam dan KUHPerdata. Menurut hukjum Islam seorang anak zinah tidak berhak mewaris dari ayah biologisnya. Ia hanya berhak mewaris dari ibu dan keluarga ibunya. 
            Di dalam buku-buku maupun tulisan-tulisan yang membahas mengenai kedudukan anak zinah dalam Islam dinyatakan bahwa terdapat sebuah Hadits Sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh sial atau batu hukuman.”  Dari hadits itu, dijelaskan lebih lanjut bahwa seorang anak hanya bernasab kepada suami sah dari ibu kandungnya artinya seorang anak hanya bernasab kepada ayah kandungnya, sementara, perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman.
            Berkaitan dengan hal tersebut maka jika pernikahan seseorang tersebut sah maka anak yang dilahirkan bernasab pada ibu dan bapaknya, sedangkan jika tidak terdapat perkawinan yang sah maka anak hanya bernasab dengan ibunya.
            Kedudukan anak zinah dalam Islam tersebut kembali ditegaskan  dalam fatwa MUI pada tanggal 10 Maret 2012, yang antara lain menyatakan : 1. anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, nikaah, waris dan nafaqah (nafkah) dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya; 2. anak hasil zina hanyah mempunyai hubungan nasab, waris dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
            Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga ibunya.

3. Kedudukan anak luar kawin paskah Putusan Mahkamah Konstitusi
            Di atas telah disebutkan bahwa putusan mahkamah konstitusi menyabutkan bahwa Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “
            Dengan adanya putusan MK tersebut maka jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain mengenai adanya hubungan biologis antara seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah maka anak tersebut mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya.
            Yang menjadi pertanyaan selanjutnya apakah dengan adanya hubungan perdata tersebut berarti anak tersebut berhak mewaris dari ayah dan keluarga ayahnya, apakah ketentuan tersebut juga berlaku untuk anak sumbang dan anak zinah,  bagaimana jika ada keberatan dari anak-anak sah orang tuanya ?
            Jika kita kaitkan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata maka sepanjang menyangkut anak di luar perkawinan  keputusan MK tersebut mungkin untuk dilaksanakan karena tidak akan terdapat pertentangan dengan pasal-pasal yang ada di dalam KUHPerdata mengenai pewarisan, dimana kedudukan yang bersangkutan disamakan dengan anak di luar perkawianan yang diakui sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 862 KUHPerdata.Akan tetapi jika anak tersebut merupakan anak zinah atau anak sumbang terdapat permasalahan untuk melaksanakannya karena Pasal 867 KUHPerdata menyatakan secara tegas bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 862 sampai dengan Pasal 866 KUHPerdata tidak berlaku bagi anak zinah dan anak sumbang.  Disamping hal tersebut putusan MK juga sulit untuk dilaksanakan jika terdapat keberatan dari para ahli waris yang sah dari ayahnya.
            Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka menurut penulis diperlukan adanya penetapan pengadilan untuk menentukan apakah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah tersebut berhak mewaris dari ayah biologis dan keluarga ayahnya tersebut.
            Selanjutnya jika dikaitkan dengan hukum Islam maka putusan MK tersebut menurut penulis tidak akan menimbulkan perubahan berkaitan dengan hak mewaris seorang anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah karena sangat jelas bahwa dalam hukum Islam seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan nasab dari ibu dan keluarga ibunya, seperti yang dinyatakan dalam fatwa MUI tersebut.
            Berkaitan dengan hal tersebut paskah adanya putusan MK tersebut hal yang utama terlebih dahulu dapat dituntut oleh seorang anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah, jika ia telah berhasil membuktikan adanya hubungan biologis antara dirinya dan ayah biologisnya tersebut adalah menuntut pertanggungjawaban ayahnya tersebut atas pemeliharaan dan pendidikannya sama seperti anak-anaknya yang l
            Ada 3 (tiga) hal yang tidak saya sepakati terhadap putusan MK mengenai pengujian pasal 43 ayat 1 UU  Perkawianan. Pertama: Putusan MK ini telah membangkitkan kembali ketentuan perkawinan dalam KUHPerdata (burgelijk wetboek) warisan kolonial Belanda. Padahal UU Perkawinan telah mengubur semua ketentuan perkawinan yang bertentangan dengan syariat Islam itu. Bahwa dalam KUHPerdata, telah dikenal tiga jenis anak luar kawin, yaitu anak luar kawin karena hubungan seksual suka sama suka, lalu zina atau overspel yaitu salah satu atau kedua pihak terikat perkawinan, dan kemudian penodaan darah atau incest.
            KUHPerdata bahkan mengatur secara rinci dalam bab tersendiri, yaitu Bab XII Tentang Kebapakan dan Asal Keturunan Anak-Anak, dari pasal 250 sampai dengan pasal 289. Antara lain diatur tentang anak-anak yang sah, pengesahan anak di luar kawin, pengakuan anak di luar kawin. Dengan suatu pengakuan anak di luar kawin oleh bapaknya yang tidak ditolak atau dibantah oleh ibunya, maka anak itu menjadi memiliki hubungan keperdataan dengan bapaknya. Pasal-pasal ini mengatur pula upaya hukum untuk mengajukan gugatan hak keperdataan atau pun pengingkaran atau penolakan terhadap gugatan hak keperdataan atas anak luar kawin.
            Keseluruhan aturan KUHPerdata tentang anak luar kawin yang rumit itu, dengan satu ketentuan yang diatur dalam pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, menjadi gugur tidak berlaku lagi semuanya, mengingat ketentuan penutup UU Perkawinan menyebutkan bahwa ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata (burgelijk wetboek) sejauh telah diatur dalam UU ini dinyatakan tidak berlaku.
Kedua: Putusan MK akan meruak lembaga perkawinan dalam Islam. Orang akan berfikir, buat apa menikah, sebab menikah atau tidak menikah jika terjadi hubungan badan dan menghasilkan anak, statusnya toh juga sama saja. Baik yang menikah maupun yang sekedar kumpul kebo, anaknya akan mendapatkan hak waris.  "Orang akan berfikir, apa relevansinya orang kawin.
Sedangkan Ketiga: Putusan MK ini bakal merusak lembaga hukum waris Islam. Hal disebabkan anak hasil zina, juga berhak dinasabkan kepada bapak yang telah menzinahi ibunya. Dengan demikian si anak juga berhak mendapatkan warisanm dari bapak bilogisnya itu, Padahal menurut Islam, anak hasil zina tidak mewarisi harta bapaknya sebab tidak ada hubungan nasab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar