KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASKAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pendahuluan
Mahkamah
Konstitusi RI dengan putusannya Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Pebruari 2012
berkaitan dengan permohonan uji materiil terhadap UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar
Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar
diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era
Presiden Soeharto memutuskan: "Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus
dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya. “
Putusan
tersebut sedikit banyak telah membuat kaget sebagian besar masyarakat Indonesia,
termasuk kalangan yang bergerak di dunia hukum, termasuk kalangan notaris.
Banyak notaris yang mempertanyakan bagaimana akibat putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut terhadap kedudukan anak luar kawin dalam masalah pewarisan, bagaimana
kedudukan Akta/Surat Keterangan Waris (SKW) yang telah dibuat oleh notaris,
apakah SKW tersebut dapat digugat oleh anak luar kawin yang bersangkutan, apa
akibatnya terhadap notaris yang membuat SKW tersebut.Hal tersebut sedikit
banyak membawa kepanikan tersendiri bagi beberapa kalangan notaris. Hal ini
terlihat dari pertanyaan dan komentar-komentar yang diajukan di dalam grup atau
milik yang terdapat didunia maya. Untuk menjawab pertanayan-pertanyaan tersebut
maka mulai bertebaran seminar-seminar yang telah atau akan diadakan untuk membahas
masalah yang masih hangat tersebut.
KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN
1.
Menurut KUHPerdata
Dalam
arti luas anak luar kawin adalah semua anak yang dilahirkan sebagai akibat
hubungan antara seorang pria dan seorang wanita di luar perkawinan yang sah
(termasuk disini anak zinah dan anak sumbang). Anak luar kawin menurut
KUHPerdata terdiri dari :1) anak luar kawin (dalam arti sempit); 2) anak
sumbang dan 3) anak zinah.
Anak
luar kawin (dalam arti sempit) ("natuurlijk kind") selanjutnya
disebut ALK adalah anak yang dilahirkan
sebagai akibat hubungan antara seorang pria dan seorang wanita di luar
perkawinan yang sah, yang tidak sedang terikat perkawinan dengan orang lain
atau tidak terkena larangan untuk melangusngkan perkawinan menurut ketentuan
hukum yang berlaku. Anak sumbang adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat
hubungan antara seorang pria dan seorang wanita di luar perkawinan yang sah,
dimana diantara mereka satu dengan yang lainnya dilarang untuk melangsungkan
perkawinan. Anak Zinah adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan
antara seorang pria dan seorang wanita di luar perkawinan yang sah, dimana
salah seorang di antara mereka atau kedua-duanya sedang terikat perkawinan
dengan orang lain.
Pada
prinsipnya menurut KUHPerdata seorang ALK hanya mempunyai hubungan hubungan
biologis dengan orang tuanya tanpa adanya hubungan perdata dengan mereka. Pasal
280 KUHPerdata menentukan hubungan perdata di antara seorang ALK dengan orang
tuanya hanya terjadi apabila ayah dan atau ibu
anak tersebut melakukan "pengakuan anak ("erkenning")
". Hubungan perdata timbul antara ALK dengan ayah dan atau ibu yang
mengakuinya. Berdasarkan Pasal 282 KUHPerdata, pengakuan ALK harus dilakukan
dengan suatu akta otentik. Disamping
dilakukannya pengakuan anak. Kedudukan ALK juga dapat ditingkatkan sehingga
kedudukannya sama seperti anak sah. hal ini disebut dengan "pengesahan
anak ("wettiging") . Pengesahan anak dapat dilakukan melalui
perkawinan kedua orang tua yang telah mengakuinya (Pasal 272 KUHPerdata) atau
melalui pengesahan dengan "surat pengesahan ("brieven van
wettiging") yang diterbitkan oleh Presiden (Pasal 274 KUHPerdata).
Dengan
adanya hubungan perdata antara ALK dengan orang tua yang mengakuinya maka ALK
yang bersangkutan mempunyai hak untuk menjadi ahli waris orang tuanya tersebut,
demikian ditentukan dalam Pasal 862 KUHPerdata. Jadi seorang ALK hanya berhak
mewaris dari orang tuanya apabila orang tuanya melakukan pengakuan anak secara
sah menurut ketentuan hukum yang berlaku.Jika ALK tersebut tidak diakui secara
sah oleh orang tuanya maka ia tidak berhak mewaris harta peninggalan orang
tuanya, kecuali tidak terdapat lagi ahli waris yang berhak mewaris berdasarkan
UU maka ia akan mewaris dengan mengenyampingkan negara (pasal 873 KUHPerdata)..
Pasal
283 KUHPerdata menetukan bahwa terhadap anak zinah maupun anak sumbang tidak
dapat diakui, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 273 KUHPerdata.
Dengan adanya ketentuan tersebut maka anak zinah dalam keadaan apapun tidak
dapat ditingkatkan statusnya, sedangkan terhadap anak sumbang masih mungkin
ditingkatkan status hukumnya apabila kedua orang tuanya memperoleh dispensasi
untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 KUHPerdata.
Sehubungan
dengan hal tersebut maka anak zinah maupun anak sumbang (selain yang dimaksud
dalam Pasal 273 KUHPerdata) menurut
KUHPerdata tertutup peluangnya untuk menjadi ahli waris dari orang tuanya
mereka hanya berhak atas tunjang nafkah sesuai dengan kemampuan orang tuanya
(Pasal 867 - 869 KUHPerdata).
Bebeda dengan apa yang ditetapkan
dalam KUHPerdata. di dalam pasal 43 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 (UU Perkawinan) ditentukan bahwa ALK
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Berdasarkan
ketentuan tersebut maka semenjak berlakunya UU Perkawinan seorang ALK dengan
sendirinya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, tanpa
perlu adanya pengakuan anak yang dilakukan oleh seorang ibu. Adanya ketentuan
tersebut mengakibatkan seorang ALK mempunyai hak mewaris dari ibunya, jika
ibunya tersebut meninggal dunia.
Terhadap
kedudukan anak yang diatur dalam UU Perkawinan tersebut ada pula yang
berpendapat lain . Pendapat lain
tersebut timbul karena adanya ketentuan Pasal 43 ayat 2 UU Perkawinan
yang menentukan " Kedudukan anak
tersebut dalam ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah." dan peraturan pemerintah tersebut sampai sekarang belum ada.
Karena peraturan pemerintah yang dimaksud itu sampai sekarang belum ada maka
untuk menimbulkan hubungan perdata ALK tersebut dengan ibunya masih tetap
diperlukan adanya pengakuan anak.
2.
Menurut Hukum Islam
Dalam
hukum Islam semua anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah disebut
sebagai anak zinah. Jadi ada perbedaan pengertian mengenai anak zinah dalam
hukum Islam dan KUHPerdata. Menurut hukjum Islam seorang anak zinah tidak
berhak mewaris dari ayah biologisnya. Ia hanya berhak mewaris dari ibu dan
keluarga ibunya.
Di
dalam buku-buku maupun tulisan-tulisan yang membahas mengenai kedudukan anak zinah
dalam Islam dinyatakan bahwa terdapat sebuah Hadits Sahih yang diriwayatkan
Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak
hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan
memperoleh sial atau batu hukuman.” Dari
hadits itu, dijelaskan lebih lanjut bahwa seorang anak hanya bernasab kepada
suami sah dari ibu kandungnya artinya seorang anak hanya bernasab kepada ayah
kandungnya, sementara, perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab
anak terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman.
Berkaitan
dengan hal tersebut maka jika pernikahan seseorang tersebut sah maka anak yang
dilahirkan bernasab pada ibu dan bapaknya, sedangkan jika tidak terdapat
perkawinan yang sah maka anak hanya bernasab dengan ibunya.
Kedudukan
anak zinah dalam Islam tersebut kembali ditegaskan dalam fatwa MUI pada tanggal 10 Maret 2012,
yang antara lain menyatakan : 1. anak hasil zina tidak mempunyai hubungan
nasab, nikaah, waris dan nafaqah (nafkah) dengan lelaki yang menyebabkan
kelahirannya; 2. anak hasil zina hanyah mempunyai hubungan nasab, waris dan
nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal
186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan anak yang lahir diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3. Kedudukan anak luar kawin paskah Putusan
Mahkamah Konstitusi
Di
atas telah disebutkan bahwa putusan mahkamah konstitusi menyabutkan bahwa Pasal
43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “
Dengan
adanya putusan MK tersebut maka jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain mengenai adanya hubungan
biologis antara seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah maka
anak tersebut mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya.
Yang
menjadi pertanyaan selanjutnya apakah dengan adanya hubungan perdata tersebut
berarti anak tersebut berhak mewaris dari ayah dan keluarga ayahnya, apakah
ketentuan tersebut juga berlaku untuk anak sumbang dan anak zinah, bagaimana jika ada keberatan dari anak-anak
sah orang tuanya ?
Jika
kita kaitkan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata maka
sepanjang menyangkut anak di luar perkawinan
keputusan MK tersebut mungkin untuk dilaksanakan karena tidak akan
terdapat pertentangan dengan pasal-pasal yang ada di dalam KUHPerdata mengenai
pewarisan, dimana kedudukan yang bersangkutan disamakan dengan anak di luar
perkawianan yang diakui sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 862
KUHPerdata.Akan tetapi jika anak tersebut merupakan anak zinah atau anak
sumbang terdapat permasalahan untuk melaksanakannya karena Pasal 867 KUHPerdata
menyatakan secara tegas bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 862 sampai
dengan Pasal 866 KUHPerdata tidak berlaku bagi anak zinah dan anak
sumbang. Disamping hal tersebut putusan
MK juga sulit untuk dilaksanakan jika terdapat keberatan dari para ahli waris
yang sah dari ayahnya.
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut maka menurut penulis diperlukan adanya
penetapan pengadilan untuk menentukan apakah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah tersebut berhak mewaris dari ayah biologis dan keluarga
ayahnya tersebut.
Selanjutnya
jika dikaitkan dengan hukum Islam maka putusan MK tersebut menurut penulis
tidak akan menimbulkan perubahan berkaitan dengan hak mewaris seorang anak yang
dilahirkan diluar perkawinan yang sah karena sangat jelas bahwa dalam hukum
Islam seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai
hubungan nasab dari ibu dan keluarga ibunya, seperti yang dinyatakan dalam
fatwa MUI tersebut.
Berkaitan
dengan hal tersebut paskah adanya putusan MK tersebut hal yang utama terlebih
dahulu dapat dituntut oleh seorang anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang
sah, jika ia telah berhasil membuktikan adanya hubungan biologis antara dirinya
dan ayah biologisnya tersebut adalah menuntut pertanggungjawaban ayahnya
tersebut atas pemeliharaan dan pendidikannya sama seperti anak-anaknya yang l
Ada 3 (tiga) hal yang tidak saya sepakati
terhadap putusan MK mengenai pengujian pasal 43 ayat 1 UU Perkawianan. Pertama: Putusan MK ini
telah membangkitkan kembali ketentuan perkawinan dalam KUHPerdata (burgelijk
wetboek) warisan kolonial Belanda. Padahal UU Perkawinan telah mengubur semua
ketentuan perkawinan yang bertentangan dengan syariat Islam itu. Bahwa dalam
KUHPerdata, telah dikenal tiga jenis anak luar kawin, yaitu anak luar kawin
karena hubungan seksual suka sama suka, lalu zina atau overspel yaitu salah
satu atau kedua pihak terikat perkawinan, dan kemudian penodaan darah atau
incest.
KUHPerdata
bahkan mengatur secara rinci dalam bab tersendiri, yaitu Bab XII Tentang
Kebapakan dan Asal Keturunan Anak-Anak, dari pasal 250 sampai dengan pasal 289.
Antara lain diatur tentang anak-anak yang sah, pengesahan anak di luar kawin,
pengakuan anak di luar kawin. Dengan suatu pengakuan anak di luar kawin oleh
bapaknya yang tidak ditolak atau dibantah oleh ibunya, maka anak itu menjadi memiliki
hubungan keperdataan dengan bapaknya. Pasal-pasal ini mengatur pula upaya hukum
untuk mengajukan gugatan hak keperdataan atau pun pengingkaran atau penolakan
terhadap gugatan hak keperdataan atas anak luar kawin.
Keseluruhan
aturan KUHPerdata tentang anak luar kawin yang rumit itu, dengan satu ketentuan
yang diatur dalam pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bahwa “anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”, menjadi gugur tidak berlaku lagi semuanya, mengingat ketentuan penutup
UU Perkawinan menyebutkan bahwa ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata
(burgelijk wetboek) sejauh telah diatur dalam UU ini dinyatakan tidak berlaku.
Kedua:
Putusan MK akan meruak lembaga perkawinan dalam Islam. Orang akan berfikir,
buat apa menikah, sebab menikah atau tidak menikah jika terjadi hubungan badan
dan menghasilkan anak, statusnya toh juga sama saja. Baik yang menikah maupun
yang sekedar kumpul kebo, anaknya akan mendapatkan hak waris. "Orang akan berfikir, apa relevansinya
orang kawin.
Sedangkan Ketiga:
Putusan MK ini bakal merusak lembaga hukum waris Islam. Hal disebabkan anak
hasil zina, juga berhak dinasabkan kepada bapak yang telah menzinahi ibunya.
Dengan demikian si anak juga berhak mendapatkan warisanm dari bapak bilogisnya
itu, Padahal menurut Islam, anak hasil zina tidak mewarisi harta bapaknya sebab
tidak ada hubungan nasab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar