MAKALAH
MEKANISME DAN PROSEDUR
PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA
DOSEN: N. SATRIA
ABDI, S.H., M.H
Disusun
Oleh:
NAMA :
SYAMSUL ARIFIN
NIM :
09224088
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AHMAD
DAHLAN YOGYAKARTA
2012/2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Masa peralihan
Indonesia menuju suatu cita demokrasi merupakan salah satu proses yang menjadi
tahapan penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian
dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi adalah terjadinya
perubahan di bidang ketatanegaraan yang diantaranya mencakup proses perubahan
konstitusi Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Undang-Undang Dasar 1945 telah
mengalami perubahan-perubahan mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun
1999 sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002.
Setelah terjadinya empat kali perubahan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengakibatkan beberapa perubahan antara lain
adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,
perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan
Ketiga UUD 1945.
Hampir
semua negara mengatur mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
di dalam konstitusi mereka. Hal yang dapat diperbedakan hanya jenis pelanggaran
hukum yang dijadikan alasan untuk pendakwaan dan prosedur pemberhentian. Selain
perbedaan jenis pelanggaran hukum yang dijadikan alasan untuk pendakwaan,
pemberian kewenangan terhadap lembaga yang menyelesaikan mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden juga memiliki perbedaan.
Pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden selanjutnya akan
diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) apakah pendapat
DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak. Amar putusan MK atas
pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan.
Kemungkinan dari amar
putusan MK itu adalah; Pertama, amar putusan MK menyatakan bahwa
permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat. Kedua,
amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/ atau
Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Ketiga, amar
putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.[1]
Munculnya ketentuan ini
sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan untuk lebih
mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Penegasan sistem pemerintahan
presidensial tersebut mengandaikan adanya lembaga kepresidenan yang mempunyai
legitimasi kuat yang dicirikan dengan (1) adanya masa jabatan Presiden yang
bersifat tetap (fixed term); (2) Presiden selain sebagai kepala negara
juga kepala pemerintahan; (3) adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi
(checks and balances); dan (4) adanya mekanisme impeachment.
Impeachment tersebut
dilakukan dengan cara yang relatif mudah. Bila DPR berpendapat bahwa presiden
telah melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau mengambil sikap
politik yang berlawanan dengan sikap politik DPR, DPR dapat mengundang MPR
untuk melakukan Sidang Istimewa (SI) untuk membicarakan impeachment presiden.
Bila MPR setuju,presiden harus berhenti.
Mudahnya impeachment
presiden di bawah UUD 1945 sebelum amandemen mengakibatkan timbulnya pendapat
bahwa sistem presidensial tersebut tidak murni karena telah bercampur dengan
sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, perdana menteri yang merupakan
kepala pemerintahan dapat diberhentikan setiap saat (yang juga berarti bubarnya
kabinet) bila tidak lagi mendapat dukungan DPR. Hilangnya dukungan DPR berarti
DPR memberikan “mosi tidak percaya” kepada perdana menteri dan kabinetnya yang
menyebabkan bubarnya pemerintah. Oleh karena itu sistem parlementer cenderung
menghasilkan ketidakstabilan politik karena kabinet bisa jatuh setiap waktu
yang menyebabkan sulitnya pemerintah melaksanakan program-program pembangunan.
Sistem presidensial yang digunakan di bawah UUD 1945 setelah amandemen telah
semakin mendekati sistem presidensial murni karena presiden dipilih langsung
oleh rakyat dan presiden tetap dapat diberhentikan bila terjadi pelanggaran
hukum sebagai mekanisme kontrol terhadap presiden.
Sebelum terjadinya
perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Hal
ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial.
Oleh karena itu, Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata
didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada
ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi.
Proses pemberhentian
tersebut hanya dapat dilakukan setelah didahului adanya proses konstitusional
melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memeriksa, mengadili dan memutus
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Adanya kemungkinan pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR inilah yang secara
teknis ketatanegaraan disebut dengan istilah impeachment.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimanakah Impeachment ditinjau secara
global, sejarah impeachment di Indonesia dan penerapan impeachment ?
2.
Bagaimana proses pemakzulan (impeachment)
presiden menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN
PEMAKZULAN (IMPEACHMENT)
Istilah
impeachment berasal dari kata “to impeach”, yang berarti meminta
pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah “removal
from office”, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment”
itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar
pelanggaran hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black,
“Strictly speaking, ‘impeachment’ means ‘accusating’ or ‘charge’.”
Artinya, kata impeachment itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih
bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhan.
Black's
Law Dictionary mendefinisikan impeachment sebagai “A criminal
proceeding against a public officer, before a quasi political court,
instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment”.8 Impeachment
diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat
publik yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan quasi political
court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya articles of
impeachment, yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan
pidana.
Menurut
Marsilam Simanjuntak impeachment adalah “Suatu proses tuntutan
hukum (pidana) khusus terhadap seorang Pejabat Publik ke depan sebuah
quasi-pengadilan politik, karena ada tuduhan pelanggaran hukum sebagaimana yang
ditentukan Undang Undang Dasar RI 1945. Hasil akhir dari mekanisme impeachment
ini adalah pemberhentian dari jabatan, dengan tidak menutup kemungkinan
melanjutkan proses tuntutan pidana biasa bagi kesalahannya sesudah turun dari
jabatannya”.
Menurut
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie Banyak pihak yang memahami bahwa impeachment
merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau pejabat
tinggi dari jabatannya. Sesungguhnya arti
impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment
lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti
atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara lain dari jabatannya.
Dengan
demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses pendakwaan atas
perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian demikian seringkali kurang
dipahami, sehingga seolah-olah lembaga “impeachment” itu identik dengan
‘pemberhentian’.
2.
SEJARAH
IMPEACHMENT TERHADAP PRESIDEN DI INDONESIA DI INDONESIA
Masa Soekarno
Sejak
awal berlakunya demokrasi terpimpin, Soekarno sudah menunjukkan tanda-tanda
otoritariannya. Di antaranya yang paling menonjol diawali dengan pembubaran DPR
hasil pemilu 1955, yang kemudian atas dasar Penetapan Presiden No. 4/1960,
dibentuk DPRGR.
Kemudian pada tanggal 13 November
1963, Soekarno sebagai presiden merombak Kabinet Kerja III menjadi Kabinet
Kerja IV yang juga menempatkan Ketua dan Wakil Ketua DPRGR, Ketua dan Wakil
Ketua MPRS, Ketua dan Wakil Ketua DPA, dan Ketua Dewan Perancang Nasional
sebagai Menteri. Dengan demikian kedudukan keempat badan negara tersebut berada
di bawah posisinya.
Di tengah krisis ekonomi saat itu,
muncul pula pemberontakan G 30S/PKI yang semakin mengharu-birukan konstelasi
politik saat itu. Mahasiswa pun ramai menggelar aksi demostrasi, mengusung
Tritura, disusul dengan reshuffle kabinet Soekarno yang terjadi
berkali-kali. Terakhir, upaya reshuffle Soekarno dengan merombak kabinet
Dwikora yang disempurnakan yang terdiri dari 100 menteri dengan kabinet Dwikora
yang disempurnakan lagi.
Setelah itu, akhirnya Soekarno
melakukan upaya terakhir pada tanggal 22 Juni 1966 bersamaan dengan pelantikan
pimpinan MPRS, dengan melakukan yang disebutnya sebagai pidato
pertanggungjawaban sukarela.102 DPRGR tidak
puas dengan pidato pertanggungjawaban presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara
pada Sidang Umum MPRS 1966 itu, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan
sebab-sebab terjadinya G 30S/PKI. Karenanya DPRGR saat itu mengajukan
pernyataan pendapat kepada presiden dan memorandum kepada MPRS yang menghendaki
dilengkapinya pidato Nawaksara oleh presiden.
Atas dasar memorandum ini, maka
diadakanlah Sidang Istimewa MPRS untuk meminta pertanggungjawaban Presiden
Soekarno. Karena pertanggungjawaban yang disampaikan Presiden Soekarno tidak
dapat diterima, maka melalui Tap No. XXXIII/MPRS/1967, Majelis mencabut
kekuasaan pemerintahan dari Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat
presiden. Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengharuskan Wakil Presiden
menggantikan posisi Presiden saat terjadi kekosongan kekuasaan, tidak berlaku.
Karena saat itu tidak ada Wakil Presiden.
Ketika itu MPRS menyatakan bahwa
Presiden Soekarno sebagai mandataris, telah tidak dapat memenuhi pertanggungan
jawab konstitusionalnya serta dinilai telah tidak dapat menjalankan haluan dan
putusan MPRS. Suksesi kepemimpinan negara dari Soekarno ke Soeharto ini, dengan
demikian bukan karena alasan mangkat atau berhentinya Soekarno, melainkan
karena kondisi yang dinilai sebagai tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
Memang tidak ada definisi yang jelas mengenai hal ini. Namun penulis
berkesimpulan bahwa dalam ketentuan maupun praktek ketatanegaraan, kondisi ini
pada akhirnya digunakan sebagai alasan pemberhentian presiden pada masa
jabatannya. Walaupun tidak ada ukuran yang jelas mengenai alasan pemberhentian
presiden, tetapi pada prakteknya proses impeachment telah terjadi pada
presiden RI.
Pada Ketetapan MPRS tentang
pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno itu, ditegaskan pula bahwa penetapan
penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Soekarno,
dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan
keadilan. Hal ini semakin menegaskan bahwa forum previlegiatum sebagai
proses penegakan hukum seorang Kepala Negara dan/atau Kepala Pemerintahan
melalui peradilan pidana biasa pada saat yang bersangkutan masih menjabat,
tidak diakui oleh Undang-Undang Dasar 1945 maupun pada praktek
ketatanegaraannya.[2]
Di sisi lain, hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law,
yang juga dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 melalui Pasal 27 ayat 1.
Masa Soeharto
Menyusul
aksi mahasiswa yang marak di seluruh pelosok tanah air yang menuntut Presiden
Soeharto untuk turun dari kursi kepresidenan. Pada tanggal 21 Mei 1998,
penguasa 32 tahun semasa Orde Baru ini pun akhirnya menyatakan berhenti dari
jabatannya. Saat itu kabinet dinyatakan demisioner dan kemudian jabatan
Presiden digantikan oleh Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie yang disusul
dengan pengangkatan sumpah jabatannya di hadapan Mahkamah Agung.
Saat
itu, terjadi eforia di kalangan masyarakat luas menyambut pengunduran diri
Soeharto, termasuk sebagian kelompok yang kemudian mempertanyakan legitimasi
kepemimpinan Habibie. Antara lain argumentasi yang kontra terhadap proses
pergantian tersebut menyatakan bahwa Habibie tidak mempunyai legitimasi yang
kuat untuk memegang kekuasaan Presiden. Padahal merujuk pada ketentuan Pasal 4
Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga
Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara, dinyatakan
bahwa salah satu alasan pemberhentian Presiden oleh MPR sebelum habis masa
jabatannya adalah karena atas permintaan sendiri.
Sebagai
konsekwensi dari kondisi tersebut, berlakulah ketentuan Pasal 8 Undang-Undang
Dasar 1945 jo. Pasal 2 ayat 1 Tap MPR No. VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden
dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan, sehingga Habibibe pun
diambil sumpahnya di hadapan Mahkamah Agung, sehubungan dengan kondisi gedung
MPR/DPR yang masih hiruk-pikuk karena dibanjiri massa sehingga tidak
memungkinkan menggunakannya untuk pengambilan sumpah dan janji Presiden yang
baru.
Dengan
demikian status B.J. Habibie secara konstitusional sah sebagai Presiden RI yang
menggantikan Soeharto sampai habis masa jabatannya. Namun, karena kontroversi
tersebut tak kunjung usai, akhirnya masa jabatannya pun dipercepat dengan perubahan
jadwal pemilu yang dipercepat pula. Padahal dari sudut hukum ketatanegaraan,
Habibie harus menjalankan tanggung jawabnya sebagai Presiden sampai dengan
habis masa jabatannya, yakni hingga tahun 2003.
Di
tengah perlakuan sewenang-wenang Soeharto, dalam kondisin ketatanegaraan yang
normal, sesungguhnya ia berpeluang untuk diberhentikan oleh MPR sebelum habis
masa jabatannya, bahkan jauh sebelum tahun 1998. Namun demikian, selain karena
berhalangan tetap dan atas permintaan sendiri, MPR hanya dapat memberhentikan
Presiden sebelum habis masa jabatannya dengan alasan sungguh-sungguh melanggar
Haluan Negara Sementara tidak
ada penjelasan lebih lanjut apa saja tindakan-tindakan yang secara jelas dapat
dikategorikan sebagai melanggar haluan negara. Walaupun pada prakteknya hal ini
pernah terjadi pada Presiden Soekarno.
Masa B.J. Habibie
Berdasarkan
konstitusi, B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden saat Soeharto menyatakan
berhenti secara sepihak, seharusnya menggatikan posisi Presiden sampai habis
masa jabatannya. Namun melalui kompromi politik tingkat tinggi, Sidang Istimewa
MPR telah disepakati untuk terselenggara agar dapat mempercepat jadwal pemilu.
Dan dalam Sidang Umum MPR hasil pemilu 1999, Habibie menyampaikan pidato
pertanggungjawabannya. Sebagaimana kita ketahui bersama, pidato
pertanggungjawaban Habibie itu kemudian ditolak oleh MPR, yang karenanya ia
menyatakan untuk tidak bersedia dicalonkan sebagai presiden periode berikutnya.
Dari
aspek hukum tata negara, pertanggungjawaban presiden kepada MPR termasuk pada
kategori pertanggungan jawab dalam arti luas, karena ada sanksinya. Dalam hal
ini penolakan pidato pertanggungjawaban Habibie memiliki sanksi yang berakibat
ia tidak dapat mencalonkan diri lagi pada pemilihan presiden untuk periode
berikutnya.
3.
MEKANISME
dan PROSEDUR IMPEACHMENT
Bangsa
indonesia pada masa reformasi mencapai keberhasilan dalam penyempurnaan UUD
1945 yang dilakukan dalam empat tahap rangkaian perubahan. Perubahan- perubahan
yang dilakukan cukup luas dan mendasar, baik dari segi kualitas dan
kuantitasny. Terbukti dengan adanya Impechment
yang terdapat dalam pasal 7A perubahan ketiga UUD 45.
Pejabat
negara yang dapat di-impeach di Indonesia menurut UUD setelah perubahan
hanyalah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berbeda dengan aturan di negara lain
dimana mekanisme impeachment bisa dilakukan terhadap pejabat-pejabat
tinggi negara. Misalkan di Amerika Serikat, Presiden dan Wakil Presiden serta
Pejabat Tinggi Negara adalah objek yang dapat dikenakan tuntutan impeachment
sehingga dapat diberhentikan. Pengaturan bahwa hanya Presiden dan/atau
Wakil Presiden yang dapat dikenakan tuntutan impeachment terdapat pada
pasal 7A UUD 1945 yang menyebutkan “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas
usul Dewan Perwakilan Rakyat,...”
Mekanisme
impeachment di Indonesia harus melalui 3 (tiga) tahap pada 3 (tiga)
lembaga tinggi negara yang berbeda. Tahapan pertama proses impeachment
adalah pada DPR. DPR dalam menjalankan fungsi pengawasannya memiliki tugas
dan kewenangan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Bilamana dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut DPR menemukan bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang termasuk dalam
alasan impeachment sebagaimana disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945[3] maka
DPR setelah sesuai dengan ketentuan prosedur internalnya (tata tertib DPR)
mengajukan tuntutan impeachment tersebut kepada MK.
Tahapan
kedua proses impeachment berada di tangan MK. Sesuai dengan
ketentuan pasal 7B ayat (4) maka MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus
pendapat DPR tersebut. Kedudukan DPR dalam persidangan MK adalah sebagai pihak
pemohon karena DPR-lah yang memiliki inisiatif dan berpendapat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam pasal
7A UUD 1945.
Setelah
MK memberi putusan atas pendapat DPR dan isi putusan MK adalah membenarkan
pendapat DPR tersebut maka tahapan ketiga proses impeachment berada
di MPR. UUD 1945 memberikan batasan bahwa hanya bilamana MK membenarkan
pendapat DPR tersebut maka DPR dapat meneruskan proses impeachment atau
usulan pemberhentian ini kepada MPR. Keputusan DPR untuk melanjutkan proses impeachment
dari MK ke MPR juga harus melalui keputusan yang diambil dalam sidang
paripurna DPR.[4]
Proses
pengambilan keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden ini dilakukan dengan mengambil suara terbanyak dalam rapat paripurna.
Komposisi dan tata cara pengambilan suara terbanyak itu juga diatur secara
rinci oleh UUD 1945 yaitu rapat paripurna MPR harus dihadiri oleh
sekurang-kurangnya ¾ dari seluruh anggota MPR. Dan persetujuan atas usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden harus disepakati oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR
yang hadir dalam rapat paripurna.
Kemudian terkait dengan ketentuan dan
prosedur Impeachment yang ada dalam
UUD 1945, sebelum dan sesudahnya perubahan ketiga juga memiliki perbedaan.
Sebelum perubahan ketiga, ada dua lembaga yang terlibat dalam proses impeachment, yiatu DPR dan MPR. DPR
berwenagn mengontrol kekuasaan eksekutif. Jika dianggap melanggar haluan
negara, DPR dapat mengajukan memorandum I dan II. Jika dua bulan setelah
memorandum ke II, mayoritas DPR tidak puas terhadap respon presiden, mereka
dapat mengajukan permohonan sidang istimewa kepada MPR.
MPR kemudaian menetapkan jadwal sidang dan meminta presiden
untuk menyampaikan pertanggungjawabannya. Setelah mendegarkan keterangan
pesiden MPR akan mengadakan voting apakah presiden di impeach atau tidak..
Setelah amandemen UUD 45 yang ketiga
barulah prosedur mengenai impeachment,
muncul satu lembaga lagi yang terlibat dalam prosedur impeachment, yaitu Mahkamah Konstitusi. Dimana DPR mengajukan kasus
impeachment terhadap Mahkamah
Konstitusi. Dalam hal ini, DPR meminta Mahkamah Konstitusi menginvestigasi dan
memutuskan, apakah presiden melanggar hukum atau tidak.
4.
Proses
Impeachment
Proses
Impeachment di DPR
UUD 1945 mengatur bahwa DPR memiliki tiga fungsi
yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.[5]
Atas dasar pelaksanaan fungsi pengawasan ini maka DPR dapat mengajukan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7B ayat (2) UUD 1945
menyebutkan “Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden adalah dalam rangka
pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Proses fungsi pengawasan dari DPR dalam rangka usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dimulai dari hak menyatakan
pendapat yang dimiliki oleh setiap anggota DPR. Mekanisme pengajuan hak
menyatakan pendapat ini diatur dalam pasal 182 sampai dengan pasal 188
Peraturan Tata Tertib DPR (Keputusan DPR nomor 15/DPR RI/I/2004-2005).
Pertama-tama, minimal harus ada 17 (tujuh belas)
orang anggota DPR yang mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai dugaan
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya
atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Usul menyatakan pendapat beserta penjelasannya
tersebut disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan disertai daftar
nama dan tanda tangan pengusul serta nama Fraksinya. Pimpinan DPR
memberitahukan kepada Anggota masuknya usul menyatakan pendapat pada Rapat
Paripurna, kemudian usul tersebut dibagikan kepada seluruh Anggota.
Setelah pemberitahuan Pimpinan DPR dalam Rapat
Paripurna, Usulan tersebut dibahas dalam Rapat Badan Musyawarah untuk
menentukan waktu dan agenda Rapat Paripurna berikutnya. Dalam Rapat Badan
Musyawarah yang membahas penentuan waktu pembicaraan dalam Rapat Paripurna
tentang usul menyatakan pendapat tersebut, kepada pengusul diberikan kesempatan
untuk memberikan penjelasan tentang usulnya secara ringkas.
Dalam Rapat Paripurna yang telah ditentukan
agendanya pada Rapat Badan Musyawarah, anggota yang mengusulkan pendapat atas
tuntutan impeachment kepada Presiden dan/atau wakil Presiden diberikan
kesempatan untuk memberikan penjelasan atas usulnya. Fraksi-Fraksi diberikan
kesempatan untuk menyampaikan pandangannya atas usulan tersebut. Kemudian,
kepada anggota yang mengusulkan pendapat tuntutan impeachment diberikan hak
untuk menjawab pandangan fraksi itu.
Selanjutnya, Rapat Paripurna memutuskan apakah
usulan hak menyatakan pendapat tersebut secara prinsip dapat diterima atau
tidak. Bilamana Rapat Paripurna memutuskan untuk menolak usulan hak menyatakan
pendapat maka usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada Masa Sidang
itu. Namun bila Rapat Paripurna menyetujui usulan hak menyatakan pendapat, DPR
kemudian membentuk Panitia Khusus.
Tugas Panitia Khusus adalah melakukan pembahasan
dengan Presiden dan atau Wakil Presiden. Dalam melakukan pembahasan atas
tuduhan impeachment kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat
diwakili. Hal ini berkaitan dengan hak subpoena yang dimiliki oleh Panitia
Khusus dalam rangka hak angket atau hak menyatakan pendapat. Hak subpoena
adalah memanggil secara paksa seseorang yang dirasakan perlu didengar
keterangannya pada penyelidikan yang dilakukan panitia khusus. Bilamana yang
bersangkutan tidak hadir dalam pemanggilan yang dilakukan oleh Panitia Khusus
maka ada ancaman sandera selama 15 (lima belas) hari. Pengaturan ini adalah
aturan lebih lanjut dari ketentuan pasal 30 UU nomor 22 tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Meskipun pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden namun proses penyelidikan yang
dilakukan oleh DPR adalah dalam konteks fungsi pengawasan dan hak menyatakan
pendapat yang diatur dalam peraturan tata tertib DPR. Sehingga proses
penyelidikan yang dilakukan DPR bukanlah dalam arti sedang menyelidiki perkara
pidana sebagaimana yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik atau penuntut umum.
Proses penyelidikan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
oleh DPR harus sesuai dengan mekanisme yang telah diatur dalam peraturan tata
tertibnya. Selain itu Panitia Khusus dalam melakukan pembahasan juga dapat
mengadakan Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, dan/atau Rapat Dengar Pendapat
Umum dengan pihak yang dipandang perlu, termasuk dengan pengusul. Pembahasan
yang dilakukan oleh Panitia Khusus menjadi bahan pengambilan keputusan dalam
Rapat Paripurna untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat tersebut.
Pengambilan keputusan dalam hal tuduhan impeachment
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden pada Rapat Paripurna harus dihadiri
oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari seluruh Anggota. Keputusan untuk
menyetujui atau menolak pernyataan pendapat, harus didukung oleh
sekurang-kurangnya 2/ 3 (dua pertiga) dari Anggota yang hadir dalam rapat
tersebut.
Bila Keputusan Rapat Paripurna menyetujui usulan
tuduhan impeachment tersebut maka
pendapat tersebut disampaikan kepada MK untuk mendapatkan putusan. Dan hanya
apabila MK memutuskan membenarkan pendapat DPR, DPR kemudian menyelenggarakan
Rapat Paripurna untuk melanjutkan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada MPR.
Proses Impeachment di
MK
Yang menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment
di MK adalah bahwa MK memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan
impeachment yang ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Ketika proses impeachment di MK, MK berarti tidak sedang mengadili
Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena yang
menjadi obyek dalam proses impeachment di MK adalah pendapat DPR.
MK wajib memeriksa, mengadili dan memberikan putusan
atas pendapat tersebut. Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna
adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab itu proses impeachment di MK
adalah untuk melihat tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan
sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman maka putusan yang dijatuhkan MK
atas pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum.
DPR adalah satu-satunya pihak yang memiliki legal
standing untuk beracara di MK dalam rangka tuduhan impeachment kepada
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Disebutkan secara eksplisit dalam pasal 80
ayat (1) bahwa ”Pemohon adalah DPR”. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah
siapakah yang akan mewakili DPR dalam persidangan di MK atau dapatkah DPR
menunjuk kuasa hukum untuk mewakili kepentingannya di persidangan MK?
Dalam hal penunjukkan kuasa hukum, UU MK secara umum
mengatur bahwa setiap pemohon dan/atau termohon yang beracara di MK dapat
didampingi atau diwakili oleh kuasanya.[6] Berarti
DPR sebagai pemohon dalam perkara tuduhan impeachment di MK juga dapat
menunjuk kuasa untuk mendampingi atau mewakilinya dalam beracara di MK. Akan
tetapi, dengan pertimbangan untuk memberikan keterangan selengkap-lengkapnya
kepada Majelis Hakim Konstitusi tentu lebih baik bilamana DPR menunjuk
anggota-anggotanya yang terlibat secara intens dalam rapat-rapat di DPR
ketika penyusunan tuduhan impeachment. Misalnya anggota-anggota yang
mengusulkan hak menyatakan pendapat maupun anggota Panitia Khusus yang dibentuk
untuk melakukan pembahasan tuduhan impeachment di DPR.
Bagaimana dengan kedudukan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam proses impeachment di MK?
Dari seluruh ketentuan hukum acara pelaksanaan
kewenangan dan kewajiban MK yang diatur dalam UU MK hanya ada satu ketentuan
hukum acara pelaksanaan kewenangan MK yang secara eksplisit menyebutkan adanya
termohon yaitu kewenangan MK memutus sengketa antar lembaga negara. Hal ini
berarti bahwa selain kewenangan memutus sengketa lembaga negara, seluruh
pelaksanaan hukum acara kewenangan dan kewajiban MK bersifat adversarial.
Kehadiran atau pemanggilan pihak-pihak selain pemohon dalam persidangan
bukanlah untuk saling berhadapan dengan pemohon namun untuk dimintai keterangan
bagi Majelis Hakim Konstitusi melakukan pemeriksaan silang (cross check)
ataupun memperkaya data-data yang dibutuhkan.
Dengan demikian, dalam proses impeachment di
MK kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK bukanlah
sebagai termohon. Dan kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
persidangan MK adalah hak bukanlah kewajiban. Hak Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang mengalami tuduhan impeachment untuk memberikan keterangan
dalam persidangan MK menurut versinya bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden
menganggap bahwa pendapat maupun keterangan yang diberikan oleh DPR dalam
persidangan MK tidak benar.
Dalam hal penunjukan kuasa hukum dalam persidangan
MK maka Presiden dan/atau Wakil Presiden juga memiliki hak untuk didampingi
atau diwakili oleh kuasa hukum. Namun untuk mencegah adanya distorsi akan lebih
baik bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden hadir dalam persidangan MK
sebagaimana Presiden dan/atau Wakil Presiden diwajibkan hadir untuk memberikan
keterangan dalam rapat pembahasan Panitia Khusus yang dibentuk oleh DPR
sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
Proses
Impeachment di MPR
Apabila MK menjatuhkan putusan membenarkan pendapat
DPR maka DPR menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR setelah menerima
usul DPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan DPR dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah MPR menerima usulan
tersebut.Tata cara Impeachment dalam lembaga MPR diatur dalam bab XV (pasal 83)
mengenai Tata Cara pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Dalam Masa
Jabatannya Peraturan Tata Tertib (Keputusan MPR RI nomor 7/MPR/2004 tentang
Peraturan Tata Tertib MPR RI sebagaimana telah diubah dengan Keputusan MPR RI
nomor 13/MPR/2004 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib MPR RI).
Pimpinan MPR kemudian mengundang Anggota MPR untuk
mengikuti Rapat Paripurna yang mengagendakan memutus usulan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diajukan oleh DPR. Pimpinan MPR juga
mengundang Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang
berkaitan dengan usulan pemberhentiannya didalam rapat Paripurna Majelis.
Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir untuk
memberikan penjelasan atas usul pemberhentiannya. Apabila Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, maka Majelis tetap
mengambil putusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pengambilan Putusan terhadap usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diajukan DPR setelah adanya putusan MK
dilaksanakan melalui mekanisme pengambilan suara terbanyak. Persyaratan
pengambilan suara terbanyak itu adalah diambil dalam rapat yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya dari jumlah Anggota Majelis (kuorum), dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota yang hadir yang memenuhi kuorum.
5.
Alasan
Impeachment
Alasan-alasan impeachment kepada Presiden
dan/atau Wakil Presiden diatur secara rinci oleh UUD 1945. Hanya saja
contoh-contoh perbuatan atau penafsiran atas bentuk-bentuk perbuatan yang
diatur dalam UUD tersebut masih merupakan subyek perdebatan. Perdebatan ini
tidak hanya terjadi di Indonesia yang baru mengadopsi ketentuan tentang proses impeachment,
namun perdebatan ini juga terjadi pada negara-negara yang telah mengadopsi
mekanisme impeachment sejak lama. Misalkan saja di Amerika Serikat,
perdebatan atas penafsiran kata high crimes dan misdemeanor[7]
masih merupakan perdebatan yang panjang dan tidak ada suatu bentuk batasan
atas perbuatan konkrit yang menunjukkan pada pelaksanaan perbuatan tersebut
sehingga seorang Presiden, Wakil Presiden dan Pejabat Tinggi Negara Amerika
Serikat dapat dituntut atas perbuatan tersebut. Penafsiran kata atas perbuatan
tersebut diserahkan kepada DPR (House of Representatives) sebagai landasannya
untuk menuntut Presiden, Wakil Presiden dan Pejabat Tinggi Negara dan kata
akhir atas penafsiran high crimes dan misdemeanor menjadi
kewenangan hakim dalam pengadilan impeachment untuk mengambil putusan
apakah benar Presiden, Wakil Presiden dan/atau Pejabat Tinggi Negara tersebut
telah melakukan high crimes dan misdemeanor.
Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan bahwa alasan-alasan impeachment
adalah pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
Penjabaran atas bentuk-bentuk perbuatan sebagai
alasan impeachment tersebut diatur dalam UU yang mengatur mengenai
masalah-masalah itu sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 ayat (3) UU nomor 24
tahun 2003 tentang MK. Berikut ini adalah alasan-alasan impeachment dengan
bentuk-bentuk perbuatan yang diatur dalam UU-nya :
a. Pengkhianatan Terhadap Negara : UU nomor 24 tahun 2003, Pasal 10
ayat (3) huruf a menyebutkan bahwa yang dimaksud pengkhianatan terhadap negara
adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam UU. Mengenai
kejahatan terhadap keamanan negara, hal ini diatur dalam KUHP buku II tentang
Kejahatan pada Bab I Kejahatan terhadap Keamanan Negara, disebutkan dalam pasal
104 sampai dengan 129 serta UU nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.
b. Korupsi dan Penyuapan: UU nomor 24 tahun 2003, Pasal 10 ayat (3)
huruf b menyebutkan bahwa yang dimaksud korupsi dan penyuapan adalah tindak
pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam UU.
c. Tindak Pidana Berat Lainnya: UU nomor 24 tahun 2003, Pasal 10 ayat
(3) huruf c menyebutkan bahwa yang dimaksud tindak pidana berat lainnya adalah
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d. Perbuatan Tercela: UU nomor 24 tahun 2003 Pasal 10 ayat (3) huruf
d menyebutkan bahwa yang dimaksud perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat
merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e.
Tidak Lagi memenuhi Syarat
Sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden UU nomor 24 tahun 2003 Pasal 10 ayat
(3) huruf e menyebutkan bahwa yang dimaksud tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 6 UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Proses
pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden dari jabatannya bukanlah hal
yang baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum perubahan UUD,
Indonesia juga memiliki mekanisme bagaimana Presiden dan/atau wakil Presiden
dapat diberhentikan dari jabatannya. Sebagaimana pernah terjadi dalam masa keperintahan
sebelumnya. Namun demikian proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden atas tuduhan (impeachment) melalui proses politik dan hukum
baru diadopsi dalam perubahan UUD 1945.
DPR menjadi pemain utama dalam drama impeachment
di Indonesia. Diawali oleh tuduhan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat oleh DPR
berdasarkan pelaksanaan fungsi pengawasannya, kemudian DPR menjadi pemohon
dalam proses impeachment di MK. Bila MK membenarkan pendapat DPR, maka
DPR pula-lah yang akan membawa tuduhan tersebut kepada MPR untuk mendapat
penyelesaian akhir dari kasus impeachment ini. Pada intinya, impeachment
adalah suatu proses yang didesain untuk menjalankan sebuah mekanisme checks
and balances dalam kekuasaan.
Alasan-alasan impeachment Presiden
dan/atau Wakil Presiden ditentukan secara limitatif dalam konstitusi, meskipun
alasan-alasan tersebut memiliki penafsiran yang sangat luas dan dapat saja
subjektif terutama dalam sebuah lembaga politik di DPR. Alasan-alasan impeachment
yang memancing banyak tafsir adalah atas tuduhan “tindak pidana berat
lainnya” (high crimes) dan “perbuatan tercela” (misdemeanor).
Bahkan di Amerika Serikat serta negara-negara lain yang mencantumkan anasir high
crimes dan misdeameanor masih terdapat wacana dan perdebatan yang
hebat dalam menafsirkan alasan impeachment tersebut.
Alasan impeachment yang dituduhkan DPR tersebut adalah alasan yang
berangkat dari sebuah proses politik dimana kepentingan-kepentingan yang lebih
bermain untuk menghasilkan sebuah keputusan. Oleh sebab itu, ada sebuah lembaga
yang memberikan legitimasi dalam perspektif yuridis dengan memberikan tafsiran
atas tuduhan yang dijatuhkan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut.
Lembaga konstitusional yang berwenang untuk memberikan tafsir yuridis atas
tuduhan DPR tersebut adalah Mahkamah Konstitusi. Pada posisi ini MK memiliki
peranan yang sangat strategis karena MK adalah salah satu lembaga pemegang
kekuasaan kehakiman. Akan tetapi pada proses impeachment ini MK tidak
sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai pribadi yang
melakukan “tindak pidana”. Tapi obyek sengketa yang menjadi fokus pemeriksaan
MK adalah pendapat DPR. Oleh sebab itu, bilamana ada pengadilan yang memeriksa
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang telah diberhentikan atas tuduhan
melakukan pelanggaran hukum maka pengadilan tersebut tetap memiliki kewenangan
untuk melakukannya dan tidak bertentangan dangan asas ne bis in idem.
Karena pengadilan tersebut mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden a quo dalam
kapasitasnya sebagai pribadi yang melakukan tindak pidana. Drama impeachment
pada episode persidangan di MK adalah dalam kerangka peradilan tata negara.
Sehingga MK tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan putusan yang berupa
sanksi pidana.
Jika dan hanya jika putusan yang
dijatuhkan MK adalah “membenarkan pendapat DPR” maka DPR dapat melanjutkan
proses impeachment ke MPR. Suara terbanyak anggota MPR sesuai dengan
prosedur yang diatur oleh konstitusi (Pasal 7B ayat (7) UUD 1945) yang akan
menjadi kata akhir dalam persoalan impeachment di Indonesia.
B.
SARAN ATAU REKOMENDASI
1.
DPR memegang peranan kunci dalam proses impeachment
karena DPR-lah yang memulai proses impeachment bagi Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Oleh karena itu, DPR harus segera melengkapi ketentuan
dalam peraturan tata tertibnya yang mengatur mengenai proses impeachment.
Bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan yang harus dilengkapi adalah
mengenai penetapan siapa yang akan mewakili DPR dalam beracara di Mahkamah
Konstitusi, mengenai proses dan aturan yang mengikat panitia khusus DPR dalam
melakukan penyelidikan atas tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
2.
Seharusnya Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberikan waktu untukm membela dirinya di depan pengadilan MK, karena
presiden dan/atau wakil presiden hanya diberikan waktu untuk membela dirinya di
depan sidang paripurna MPR, setelah ada keputusan MK, berarti jelas disini
terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie,
Jimly. Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Kerjasama Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005.
Ibrahim,
Harmaily. Majelis Permusyawaratan Rakyat: Suatu Tinjauan dari Sudut Hukum Tata
Negara. Jakarta: Sinar Bakti, 1979.
Junal
Media Hukum. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2009.
Kunthi
Dyah Wardani. Impeachment Dalam Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2007.
Undang-undang
Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana
Telah Diubah Dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
http://armingsh.blogspot.com/2010/08/istilah-istilah-impeachment.html.
di akses tanggal 12 Oktober 2012
http://fristianhumalanggionline.wordpress.com/2012/05/06/pemberhentian-presiden-danatau-wakil-presiden-dalam-masa-jabatannya-menurut-sistem-ketatanegaraan-indonesia/.
di akses tanggal 12 Oktober 2012
http://ilhamendra.wordpress.com/2010/07/01/pemberhentian-presiden-%E2%80%9Cpemakzulan-impeachment%E2%80%9D/.
di akses tanggal 12 Oktober 2012
[1] ketentuan Pasal 83 ayat (1), (2),
dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Republik
Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN
No. 98 Tahun 2003,TLN No. 4316.
[2] Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam
hal pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran tindak pidana, ada dua aliran
konstitusi. Yakni yang menganut forum previlegiatum dan yang tidak.
Namun lebih banyak negara yang memandang hal ini tidak realistis dan kemudian
lebih memilih untuk menyelesaikannya melalui proses peradilan tata negara
dahulu, baru kemudian dijalani proses peradilan pidana biasa setelah yang
bersangkutan tidak lagi menjabat sebagai presiden. Sementara Suwoto
Mulyosudarmo berpandangan bahwa apabila setelah tidak lagi menjabat karena
diberhentikan, namun kemudian melalui peradilan pidana biasa yang bersangkutan
ternyata tidak terbukti bersalah,
maka ia tidak dapat kembali lagi menjabat sebagai Presiden. Karena putusan yang
mengabulkan impeachment tersebut berlaku tetap.
[3] melakukan pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
[4] Pasal 7B ayat (5) UUD NRI
1945
[6] Pasal 43 dan 44, UU nomor 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[7] diartikan kedalam bahasa
Indonesia menjadi tindak pidana berat dan perbuatan tercela, yang
kemudian diadopsi dalam ketentuan pasal 7A UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar