Sabtu, 29 Mei 2010


Pemuda Madura Menatap Masa Depan

Berbagai problem kepemudaan Indonesia saat ini datang silih berganti mengisi lembar-lembar sejarah dari masa ke masa. Mulai dari orde baru, orde lama, orde reformasi hingga orde pembaharuan saat ini, yang konon banyak yang menyatakan “Saatnya yang Muda Memimpin”. Begitu juga mereka para pemuda yang mengisi ruang-ruang hampa tak bermakna, jatuh dalam lembah kegelapan dunia materialistik dan hedonis, perkelahian antar pelajar dan mahasiswa, terjerumus dalam dunia Narkoba dan Napza serta berbagai hal persoalan pemuda anak bangsa lainnya. Dan apabila sedikit ditelusuri diantara yang ada, kebanyakan mereka kurang mendapatkan bimbingan yang baik dari para orang tua mereka yang menjadi best parents, para guru mereka juga hanya bersikap cuek terhadap berbagai persoalan dan permasalahan yang sering mereka rasakan, padahal mereka membutuhkan bimbingan, binaan dan bantuan secara Intelektual, Spritual dan Emosional. Sehingga tanpa disadari oleh para orang tua dan para guru, mereka jauh dari nilai-nilai agama yang menjadi landasan utama dalam upaya peningkatan keimanan yang semestinya nilai tersebut mendapatkan porsi khusus dalam peningkatan mental, bakat, minat, kemampuan yang harus terus-menerus terasah. Masalah Pemuda bukanlah sesuatu yang dapat dianggap biasa-biasa dan sepele, Membutuhkan wadah dan penanganan khusus dari berbagai pihak.
Pemuda Madura saat ini merupakan salah satu diantara sekian para pemuda bangsa Indonesia saat ini yang merasakan imbas dari berbagai arus Globalisasi dan Modernisasi yang terus berkembang saat ini. Tanpa terasa, kalau dahulu ada sebagian para Ulama Madura, yang salah satunya tergabung dalam Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura (BASSRA) yang pada masa keemasannya tampuk kepemimpinan dipegang oleh KH. Tidjani Djauhari. Mereka para Ulama BASSRA sangat menentang sekali dengan adanya pendirian Jembatan Suramadu yang pada dasarnya akan membenamkan masyarakat Madura itu sendiri. Karena bila ditinjau dari historis, bahwa sistem pemerintahan dibeberapa kabupaten terutama Bangkalan dan Sumenep dahulunya merupakan Kerajaan yang bercorak Islam yang sangat terkenal pada masanya. Secara turun-temurun kendali masyarakat dan rakyat dipegang oleh tampuk pemerintahan yang bercorak monarkhi tersebut. Sehingga timbul kekhawatiran diantara mereka, akan terkikisnya ciri khas ke-Islaman masyarakat Madura yang dikenal sangat kental, dan tidak salah apabila Madura dikenal dengan sebutan “Serambi Madinah” di Indonesia.
Begitupun secara geografis pulau Madura merupakan gugusan pulau besar yang memiliki ratusan pulau kecil yang tersebar dari Ujung Bangkalan hingga penjuru Sumenep yang sering kita dengar keeksotisan alam sekitarnya yang begitu menawan, sehingga pasca realisasi Jembatan Suramadu nanti dapat dijadikan objek wisata yang tak kalah tangguhnya dengan objek wisata yang berada di seantreo Indonesia. Namun kurangnya pengelolaan yang baik dari pihak pemerintah setempat, membuat para investor lokal maupun luar negeri kurang berminat untuk menanamkan investasi meraka. Kekayaan alam lainnya adalah penanaman tembakau yang berkala pada setiap pergantian musimnya dan juga tambak garam yang membentang luas di sepanjang pantai pulau madura, merupakan daya tawar tersendiri untuk menjadikan Madura pusat Indutrialisasi yang dikenal pada masa yang akan datang, serta masih banyak lagi kekayaan pulau Madura yang lainnya, mulai dari eksplorasi Minyak Bumi, batik tulis Madura, ukiran khas Karduluk Sumenep dan lain sebagainya. Semuanya bukanlah khayalan belaka, namun ia sebuah kenyataan yang akan terjadi didepan mata kita.
Bagaimana dengan para pemuda Madura pasca Realisasi jembatan Suramadu, Peran apa yang akan mereka inginkan? Berada pada posisi penonton, pengawal ataupun sebagai pengelola? Kemampuan dan talenta terbesar apa yang mereka miliki? Dalam upaya pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia, bagaimana tindakan terbaik yang harus mereka lakukan? Siapkah mereka para Pemuda Madura? Dan berbagai pertanyaan-pertanyaan lainnya, jati diri merekalah yang dapat menjawab.
Generasi Muda (Muslim) yang Unggul
Generasi Muda yang handal adalah generasi yang memiliki kualitas dan performance jati diri yang baik. Dengan kapasitas keilmuan tentang berbagai hal yang ia miliki dan didukung wawasan keagamaan yang luas serta memahami kemampuan dirinya sebagai anak bangsa yang harus mengerti akan pentingnya menjadi warga negara yang baik dan bijaksana, sehingga menjadikan dirinya sebagai kader bangsa yang Nasionalis Relius. Dalam bahasa agama ia akan menjadi Muttafaqquh Fid Dien wa Mundhirul Qoum (Seorang yang paham akan ilmu pengetahuan agama dan akan menjadi seorang pemimpin pada suatu saat kelak). Pada saat yang tepat nanti, ia akan menjadi pemuda Muslim yang handal dan tangguh, dengan sedikit memiliki keunggulan diri yang paham dan mengerti dalam berbagai aspek kehidupan yang ada, mulai dari aspek Keagamaan, Ekonomi, Budaya, Sosial, Politik, Management Pendidikan dan lain sebagainya, yang pada akhirnya ia akan menjadi Insan Akademis sejati yang diharapkan oleh Agama, Nusa dan Bangsa.
Dengan karakteristik yang menonjol dan tampil menawan, para Generasi Muda (Muslim) akan selalu menjadi pelopor dalam menentukan arah laju perkembangan bangsa dan tanah air, mereka juga akan menjadi agen of change dan agen of social control yang akan mengawal perubahan demi perubahan yang berarti dalam berkehidupan dalam masyarakat, bahkan mereka juga akan memiliki sejuta ide-ide cemerlang dan gagasan-gagasan briliant untuk melakukan berbagai tindakan positif kearah kehidupan masyarakat yang Sejahtera, Damai dan Sentosa dengan selalu mengharap Ridho Ilahi Robbi.
Adanya realisasi jembatan Suramadu yang akan mulai dioperasikan pada bulan Juni nanti bukanlah tantangan berarti bagi para Pemuda yang handal tersebut. Mereka telah mempersiapkan sedini mungkin berbagai hal dan kemungkinan yang akan terjadi. Saatnya mereka membangun tonggak sejarah dalam kehidupan mereka untuk terus berupaya membina, mengasuh dan melayani kebutuhan khalayak masyarakat. Pemuda Madura sangat cocok untuk menjadi agen, Bukan saatnya lagi bagi mereka untuk berleha-leha dengan banyak kongkow-kongkow dipinggir jalan, track-trackan yang tidak karuan, menghambur-hamburkan uang dengan belanja barang-barang dan tekhnologi yang kurang mendatangkan manfaat bagi mereka ataupun hanya bertumpu pada orang tua mereka yang kaya raya. Namun para Pemuda Madura menunjukkan taring kemampuan mereka dalam Intelektualitas yang tinggi, Kreatifitas yang patut diapresiasi, Prestasi yang membanggakan bagi sekolah, kampus dan pemerintahan masing-masing serta seabrek kegiatan positif lainnya yang dapat mengharumkan Madura dalam berbagai kancah Nasional dan Internasional.
Realiasasi Jembatan Suramadu, Tonggak Kebangkitan Pemuda Madura
Jembatan Suramadu adalah jembatan terpanjang di Indonesia saat ini, yang menjadikannya salah satu landmark dan ikon Indonesia, khususnya masyarakat Jawa Timur. Jembatan Suramadu memiliki panjang 5.438 M dan menghubungkan pulau Jawa (di Surabaya) dan pulau Madura (di Bangkalan). Pembangunan jembatan ini ditujukan untuk mempercepat pembangunan di pulau Madura, meliputi bidang infrastruktur dan ekonomi di Madura, yang relatif tertinggal dibandingkan kawasan lain di Jawa Timur. Jembatan ini diresmikan pembangunannya oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 Agustus 2003. Jembatan Suramadu terdiri dari 3 bagian yaitu causeway, approach bridge dan main bridge. Perkiraan biaya pembangunan jembatan ini adalah Rp. 4,5 Trilyun. (www.roadshow kabarmadura.com).
Dengan relita yang ada tersebut, dimata para Pemuda Madura, jembatan Suramadu merupakan sebuah harapan dan tantangan bagi mereka untuk menatap masa depan mereka yang lebih gemilang. Harapan terbaik yang mereka inginkan adalah masyarakat Madura secara keseluruhan dapat merasakan imbas positif dalam pengembangan sumber daya manusia yang berada di berbagai penjuru dan pelosok Madura, semakin meningkatnya kualitas mutu pendidikan sekolah-sekolah yang berada dibawah naungan pemerintah, baik itu DIKNAS maupun DEPAG, terkelolanya para kelompok tani dan nelayan dengan baik dengan melakukan pemerataan yang menitik beratkan pada pemberdayaan dan kesejahteraan mereka, terbinanya sentra kerajinan rakyat yang berada di berbagai desa dan kecamatan di Madura, seperti makanan khas Madura, Kerajinan batik dan ukir dan lain-lain. Serta terbangunnya sarana dan prasarana yang memadai dalam berbagai aspeknya, seperti pembangunan infrastruktur Student Center, Pusat jajanan rakyat, Taman bermain yang berorintasi kenyamanan dan kerindangan alam dan berbagai pembangunan lainnya yang berbasis kerakyatan.
Disinilah Tonggak kebangkitan Pemuda Madura untuk selalu berkreasi, berinovasi dan berapresiasi dengan baik. Saatnya mereka tampil di pentas, sebagai pembantu pemerintah dalam meningkatkan kinerja pemerintahan di kabupaten masing-masing (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep), sebagai motor penggerak ekonami kerakyatan untuk lebih maju dan berkembang, sebagai pendobrak kebobrokan pemuda dan masyarakat yang bersifat jumud dan stagnan, dan juga sebagai pelopor dalam berbagai event, kegiatan dan pelaksanaan yang dapat menguntungkan semua lapisan masyarakat Madura serta berbagai hal yang bersifat konstruktif lainnya demi kemajuan dan perkembangan Madura pada masa yang akan datang.
Pemuda dan Masa Depan Pendidikan di Madura Pasca Suramadu
Kesiapan para pemuda Madura dalam kancah pengembangan dan pembangunan masyarakat pasca realisasi jembatan Suramadu haruslah berimbang dengan kemampuan yang mereka miliki. Yang bila kita perhatikan, isu industrialisasi yang santer berembus di Madura setelah pembangunan jembatan Suramadu melahirkan pro dan kontra dari masyarakat Madura. Masyarakat yang pro banyak berharap industrialisasi akan melahirkan banyak kemajuan dan kemudahan dalam peningkatan pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat Madura. Adapun pendapat yang kontra menganggap bahwa industrialisasi tidak akan menyejahterakan, tetapi sebaliknya akan memarginalkan warga Madura dan mengancam terjadinya dekadensi moral yang sangat membahayakan warga Madura, terutama kalangan pemuda dan pelajar. Sikap di atas sangat wajar dan tidak mengherankan. Sebab, salah satu keberatan orang Madura terhadap isu industrialiasi ini, terutama setelah jembatan Suramadu terealisasi, adalah terjadinya pembangunan Madura yang sepihak dan tidak memberikan ruang partisipasi aktif masyarakat Madura. Hal itu malah hanya akan menguntungkan kelompok-kelompok strategis dan elite tertentu, terutama pihak asing, yang memiliki modal dan kekuatan sumber daya manusia yang memadai.
Seyogyanya, gelombang industrialiasi yang akan terjadi di Madura harus dijadikan peluang strategis sekaligus tantangan positif untuk meningkatkan kualitas dan pemberdayaan diri agar mampu memainkan peranan yang strategis di dalamnya. Akan tetapi, tentu saja industrialisi menurut HAR Tilaar (1998) menuntut adanya masyarakat yang mempunyai keunggulan kompetitif dengan sumber daya manusia mumpuni, dan kekuatan investasi modal intelektual serta penguasaan masyarakat terhadap sarana informasi yang serba superhigh technology. Di samping menuntut kemampuan entrepreneurship yang baik, industrialisasi akan ditandai dengan maraknya kehidupan bisnis yang menjanjikan masa depan. Untuk itu, masyarakat Madura harus menyadari kemampuannya bersaing karena aktivitas dan pekerjaan dalam industrialiasi menuntut kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan (skill) khusus yang didukung jiwa kewirausahaan yang baik. Hal itu hanya dapat diraih dengan belajar keras dan menuntut ilmu pengetahuan (berpendidikan) setinggi mungkin. (Fathorraman Ustman dalam www.kabar madura.com, 2009)
Pendidikan yang berkualitas dan mumpuni akan menyebabkan masyarakat Madura tidak hanya menjadi pemirsa kegiatan industrialisasi yang akan terjadi di daerahnya, tetapi mereka akan mampu bersaing secara wajar melawan siapa saja berdasarkan kemampuan dan pendidikan yang dapat diandalkan. Untuk itu, membudayakan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan suatu keniscayaan. Ini harus segera ditanamkan melalui lembaga pendidikan sejak dini, mulai dari proses pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. Kalau tidak, industrialisasi di Madura, menurut Peter L Berger, bukan akan mengangkat kehidupan masyarakat yang sejahtera, tetapi hanya akan menjadi beban berat bagi masyarakat Madura sendiri.
Kekhawatiran Industrialisasi Madura
Pembangunan Jembatan Suramadu melewati jalan berliku dan terjal. Butuh energi lebih dan pergantian pemimpin bangsa hingga berulang kali barulah kini terwujud. Pertanyaannya, bagaimana respons masyarakat Madura soal pembangunan Jembatan Suramadu? Banyak orang tahu sejak awal perencanaan (sebagian atau bahkan mayoritas) masyarakat Madura menolak pembangunan tersebut. Bagi yang pro, jelas diwakili oleh lembaga pemerintahan. Mereka yang kontra atau tidak setuju disuarakan oleh para tokoh Kiyai yang tergabung dalam Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura (BASSRA). Konsekuensinya, perseteruan antara dua kubu ini mengakibatkan perpecahan di tingkat masyarakat bawah (grass root)
Dalam perspektif budaya, fenomena yang demikian sebenarnya mematahkan teori seperti dikemukakan A Latief Wiyata (2003: 1) yang menyebutkan kalau masyarakat Madura secara hierarki tunduk, pasrah, dan taat kepada empat figur, yaitu buppa’, babbu’, guru, ban rato (Ayah, Ibu, Guru (Kiyai), dan Pemimpin Pemerintahan). Masyarakat tidak sepenuhnya Sami’na wa Atha’na, apa kata rato. Entah mengapa, selang berjalannya waktu, masyarakat, termasuk BASSRA, ternyata lunak dan luluh terhadap kekuasaan pemerintah, meskipun sengketa pembebasan tanah eksekusi untuk pembangunan jembatan Suramadu baru berakhir dengan paksa pada 18 Januari 2009.
Maksud lain yang ingin disampaikan adalah bahaya industrialisasi Madura jika tidak diimbangi dengan kontrol masyarakat setempat. Menurut KH Alawi, industrialisasi Madura itu hendaknya Indonesiawi, Manusiawi, dan Islami. Indonesiawi maksudnya industrialisasi itu benar-benar untuk kepentingan bangsa Indonesia. Manusiawi berarti industrialisasi Madura itu harus benar-benar dapat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, dan Islami maksudnya industri itu tidak boleh ada kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman (Mutmainnah, 1998:86) Begitulah, kekhawatiran demi kekhawatiran sering menghantui masyarakat Madura setelah diembuskan industrialisasi lewat jalur jembatan Suramadu. Dengan demikian, modernitas menjadi suatu hal yang paradoks. Dalam wujud modernisasi, ia menjadi kegalauan sekaligus kekaguman manusia modern. Namun, dalam wujudnya yang lain, modernitas telah melahirkan nestapa kemanusiaan yang serius dan harus dibayar mahal dalam sejarah kehidupan umat manusia sejagat. Tak terbayangkan apa jadinya jika industrialisasi nanti benar-benar menggerus nilai-nilai kebudayaan asli Madura dan menggantinya dengan produk-produk yang konon dibilang modern. Seni musik tradisional, seperti saronen (tiup terompet) dan karawitan sinden (tanda’) mungkin akan tergantikan oleh konser-konser penyanyi metropolis dari ibu kota. Kerapan sapi akan tergantikan balapan mobil dan motor. Identitas carok akan tergantikan dengan senjata api (pistol) dan lain sebagainya.
Apalagi, sempat muncul rumor tak sedap pasca dibangunnya jembatan Suramadu. Pasalnya, lokalisasi PSK di Surabaya akan dipindahkan atau diletakkan di pulau-pulau terpencil Madura. Alamak, inikah industrialisasi yang menjanjikan kemodernan itu? Hanya satu kata: Jaga dan Selamatkan Madura untuk bangsa! “Manusiawi berarti industrialisasi Madura itu harus benar-benar dapat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia”.
Penutup
Masyarakat Madura dan semua perangkat yang ada di dalamnya : para pemegang tampuk Pemerintahan (Legislatif dan Yudikatif), para alim ulama (Kiyai), para Pendidik dan Pengajar (Guru bantu dan tetap), rakyat kalangan menengah ke bawah (Petani, Nelayan, Pedagang kaki lima), masyarakat kalangan menengah ke atas (Pengusaha, Investor, Kontraktor) dan para pemuda harapan bangsa (Pelajar dan Mahasiswa) semuanya harus menyatu bersatu padu dalam sebuah payung kebersamaan. Yang pada dasarnya apabila masyarakat Madura bersatu teguh maka mereka akan menjadi kokoh dan kuat, sehingga melahirkan masyarakat Madura yang berkualitas, berkembang dan mandiri.